gb. Sultan Muhammad Siradjuddin |
Km. Sanggicu: Nggusu Waru
adalah delapan sifat/karakteristik yang menyatu sedemikian kuatnya dalam diri
seseorang yang menjadi pemimpin (dumudou, ama dou, amarasa) (bahasa lokal).
Kedelapan sifat/karakteristik itu sekaligus dapat dijadikan kriteria alternatif
bagi seseorang yang akan dipilih/diangkat menjadi pemimpin, Ini merupakan salah
satu warisan kesultanan Dompu yang tidak pudar dari kesultanan Muhammad
Siradjudin yang sekaligus raja Dompu ke 29.
Warisan tersebut berupa sifat
yang dinamakan dalam bahasa Daerah Dompu-Mbojo yakni Nggusu Waru, atau yang
diartikan Delapan Prinsip kepemimpinan, nggusu waru yaitu :
(Sa’orikaina) “dou maja labo dahu
dinadai Ruma Allahu Ta’ala”. Artinya orang yang merasa malu dan takut kepada
allah SWT. Takwa dalam artian hati-hati dan selektif dalam hidupnya. Ia tidak
mau bersikap sembarangan. Karena ia yakin bahwa meskipun mata kepalanya tidak
dapat melihat allah, tapi mata hatinya yakin bahwa allah SWT pasti
memperhatikan dia, sebagaimana dirumuskan dalam pengertian ihsan, yaitu:
“hendaklah engkau menyembah allah, seakan-akan kau meliha-Nya. Jika engkau
tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa allah pasti melihat engkau”. Jadi,
kriteria yang satu ini mendasari sekaligus menjiwai ketujuh sifat yang lainnya.
Sifat ma sabua ake, nakapisiku sifat ma pidumbua ma kalai ede.
(Dua orikaina) “ dou ma bae ade”.
Artinya, orang yang memiliki kapasitas intelektual serta kepekaan jiwa
(spiritual) yang mendalam sehingga dengan mudah menanggapi berbagai
permasalahan yang terjadi, secara rasional dan intuitif serta tidak mudah bersikap
emosional dalam arti negatif. Karena itu, ia selalu mampu mengontrol dirinya
sedemikian rupa sehingga tidak mampu terbawa oleh pemikiran yang bersifat
polaritas: prokontra, kiri-kanan, hitam-putih, dan sejenisnya (unca-anca,
ngu’e-nga’e). Tapi ia mampu mengajukan pikiran yang partisipatif, akomodatif,
dan adaptif. Jadi ia mampu memodernisasi, menjembatani, mencari titik temu,
dari dua/lebih hal yang ekstrim sedemikian rupa sehingga ia mampu berada
“ditengah-tengah”, menjadi wasit, adil dan santun. Dia tidak mudah terpancing
untuk melakukan kekerasan, ia anti kekerasan sesuai dengan makna instrinsik
dari kata DOMPU atau DOMPO. Bukan secara kebetulan kalau Kabupaten DOMPU itu
secara geografis berada “persis” ditengah-tengah pulau Sumbawa, sehingga sangat
relevan dengan kata DOMPU/DOMPO.
(Tolu orikaina) “dou ma mbani
labo disa”. Bukan orang yang “kebe” (orang yang kebal) karena memiliki
ilmu-ilmu tertentu yang bersifat mistik. Dou mbani labo disa Artinya orang yang
memiliki sifat berani melakukan perubahan (reformasi) kearah yang lebih
positif-konstruktif karena diyakini kebenarannya. Karena itu, ia berani
mempertanggungjawabkan perbuatanya kini disini, di dunia, dihadapan UUD 45 dan
pancasila serta dihadapan Allah SWT, yaitu dihari perhitungan yang amat cermat
lagi teliti, di yaumul hisab, nantinya. Dalam al-quran telah dijelaskan yang
artinya “Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya kelak aku akan menemui hisab
oleh dan terhadap diriku sendiri(QS. Al Haqqah, 69:20). Karena itu tidak ada
seorangpun yang mampu “bersandiwara” seperti yang pernah ia lakukan semasa
hidupnya di dunia. Perhatikan pula QS. Yasin, 36:65, yang artinya “Pada hari
itu kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan
memberikan kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
Jadi, mbani labo disa berarti,
berani dan dapat/sanggup berbuat sesuatu, sesuai dengan aturan main yang
ada/berlaku, yang tentu saja ia yakin akan kebaikan dan kebenaran.
(Upa orikaina), “dou ma lembo ade
ro ma na’e sabar”. Artinya orang yang lapang dada (berjiwa demokratis dan
akomodatif) yang mampu menjembatani hal-hal yang dapat menimbulkan polaritas
(pro-kontra). Dengan berkat kesabarannya ia tidak mudah memihak kepada hal-hal
yang nampaknya secara lahiriah, menguntungkan, padahal justru membahayakan.
Dengan demikian ia, mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi. Karena ia
memiliki tekad/semangat yang membaja dalam meraih tujuan yang lebih luhur,
lebih membahagiakan. Ia mantapkan tekad/semangat dengan mengatakan” kalembo
ade, kana’e saba, kapaja syara’, sia sawa’u, su’u sawale. Insya Allah, Allah
SWT akan menolong siapa saja, selama orang tersebut memiliki sikap seperti itu.
Perhatikan QS. Al-Baqarah, 2: 45 dan 153 yang artinya “Dan mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. Sabar itu selalu pahit
pada awalnya, tetapi manis pada akhirnya. “Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk urusan yang patut di utamakan”(QS. Ali Imran, 3:186).
(Lima orikaina), “dou ma ndinga
nggahi rawi pahu”. Artinya, orang yang jujur. Orang yang satu kata dengan
perbuatannya (tidak hipokrit), karena apa yang telah dikatakan atau yang telah
disepakati bersama misalnya, itu pulalah yang akan dilaksanakanbersama secara
arif, sehingga menghasilkan suatu yang sangat positif dan konstruktif, ntau
pahu. Hal itu dimungkinkan karena ia memiliki kemampuan terutama dalam hal
penggunaan kata/kalimat yang secara psikologis dan secara moral dapat mengantarkan
dirinya dan orang lain kepada satunya kata dan perbuatan.
Ungkapan tersebut sesungguhnya
merupakan manifestasi dari orang yang kuat imannya (cia imbina) kepada adanya
Allah SWT sebagai pencipta alam semesta sekaligus sebagai pelindung dan
pemeliharanya. Keimanan seperti itu, harus diyakini dengan hati (kapodaku ba
ade), diucapkan dengan lisan (rentaku ba rera/lera) dan diamalkan dengan
anggota badan (karawiku ba weki/sarumbu). Ketiga-tiganya harus berjalan secara
simultan dan seimbang. Bukan sebaliknya, nggahi wari pahu (hipokrit). Bukan
seperti itu. Karena ia yakin bahwa allah SWT sangat marah (benci) kepada
orang-orang dengan tipe seperti itu. QS. As-Saf, 61: 1-2, yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan (sesuatu) apa yang kamu tidak
perbuat. Amat besar kebencian di hadirat Allah SWT (apabila) kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
(Ini orikaina), “dou ma taho
hid’i” atau “londo dou ma taho”. Artinya, orang yang memiliki integritas
kepribadian yang kokoh-kuat dan berwibawa. Dedikasinya tinggi serta loyal akan
perjuangan, menegakkan keadilan dan kebenaran. Jadi, taho hid’i disini, bukan
pada penampakan fisik kejasmaniannya yang tampan, cantik, dan/atau gagah saja.
Bukan itu, itu belum cukup. Tetapi yang sangat penting pada aspek integritas
kepribadian yang sidik (jujur), tidak bohong, amanah (dapat dipercaya), tidak
khianat, tabaliq (transparan dan komunikatif) tidak sembunyi-sembunyi, serta
fatonah (cerdas dan kreatif), tidak bohong/dungu, sedemikian rupa, sehingga
menampakkan pribadi manusia seutuhnya: proporsional dan harmonis. Harmonis
antara fisik-kejasmanian dan psikhis-kerohanian, secara sempurna. Atau meminjam
istilah dalam tasawuf, ia menjadi “insan kamil”, yaitu manusia yang selalu
dalam “proses menjadi” sempurna.
Jadi “dou ma taho hid’i” atau
“londo dou ma taho”. Artinya orang yang seimbang antara struktur tubuhnya yang
gagah (pria) atau cantik (wanita) dan berakhlak baik/akhlakul karimah.
(Pidu orikaina), “dou ma d’i woha
dou”. Artinya, orang yang selalu merasa terpanggil untuk mengambil tanggung
jawab, ditengah-tengah komunitasnya, baik ditingkat lokal, memiliki akses
tingkat nasional, dan syukur-syukur di tingkat Internasional. Dan karenanya, ia
selalu dekat di hati rakyat, ia selalu dicintai rakyatnya. Dengan demikian, ia
selalu unggul dalam setiap kegiatan yang bersifat kompetitif dan yang
melibatkan orang banyak (publik). Betapa tidak, karena ia selalu hadir di
tengah-tengah publik, baik dikala suka maupun dikala duka, dengan tidak
membeda-bedakan status sosial; kaya-miskin, orang kota-orang gunung,
bangsawan-budak (ada dou). Ia berkeyakinan bahwa kesusahan, penderitaan orang
lain, adalah peluang baginya untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan cara
memudahkan urusan sedemikian rupa, sehingga orang itu merasa berbahagia berada
di sampingnya.
(Waru orikaina), “dou ma ntau ro
wara”. Artinya, orang yang memiliki kekayaan (maksudnya, bukan hanya memiliki
kekayaan bersifat materi-kebendaan saja, tetapi yang penting, kaya rokhani),
sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang bersifat materi. Betapapun ia
menghajatkannya. Atau menurut ungkapan yang populer di era roformasi dewasa
ini, ia tidak mau melakukan KKN alias Kuku Keko Ndimba (istilah lokal).
Betapapun ia menghajatkan materi-uang, karena sangat bertentangan dengan hati
nuraninya, bertentangan dengan sifat-sifat yang terpuji seperti yang
tersebutkan di atas. Jadi, dia sudah merasa kaya secara rokhaniah maupun secara
moral. Dengan demikian, ia mampu menilai bahwa sebuah benda yang berharga itu,
tidak ubahnya ibarat sebutir batu/kerikil yang berserakan disepanjang jalan. Ia
sama sekali tidak terusik untuk memilikinya melebihi porsi yang diperlukannya.
Lagipula, sesuai dengan haknya tidak lebih dari itu.
Tulisan ini disadur oleh Bahtiar
Malingi (Dosen IAIN Mataram NTB - Mahasiswa S2 UNY Yogyakarta)dari sebuah buku
karangan sesepuh yang nama panggilannya guru melo (Abdul Malik Mahmud Hasan)
dengan judul “Ngusu Waru” Sebuah Kriteria Pemimpin Menurut Budaya Lokal Mbojo
(Dompu-Bima).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar