ilustrasi |
Dahulu
usai ba’da sholat maghrib, banyak sekali murid-murid dari berbagai usia yang
berbondong-bondong untuk menuju rumah sang guru, berbekalkan Al-Qur’an yang
dipeluk dengan penuh sopan dan kehati-hatian. Sekarang hanya Al-Qur’an yang dipajang
dirumah-rumah, entah diperhatikan atau mungkin sudah lupa akan tuntunan yang
terkandung didalamnya.
Ejaan-ejaan
terdengar jelas yang dikeluarkan dari mulut para murid yang belajar, suara yang
sembrawut menghiasi malam dengan harapan menjadi murid pintar ngaji yang
nantinya akan disayang oleh sang guru dan orang tua.
Guru
ngaji tanpa mengharapkan imbalan ataupun balasan dari para murid, dengan penuh
suka cita mengajarkan murid-muridnya, tidak ada kata lelah maupun menyerah,
yang dalam hatinya hanya mengharapkan balasan Akhirat dan pahala.
Sekarang
sudah jarang terlihat gurungaji dan murid-murid yang berkumpul dirumah-rumah,
ataupun dimasjid maupun majelis serta pengajian, hanyaa lantunan jrekaman kaset
maupun tipe recorder yang di stel tiap menjelang ba’da shalat Isa maupun usai
subuh.
Bukankah
semuanya dipengaruhi oleh kecanggihan semata. Tidak perlu dipungkiri prodak era
globalisasi, namun perlu dihawatirkan banyaknya penerus bangsa indonesia yang
didominasi oleh muslim yang nantinya jarang bisa ngaji dan mungkin muslim tidak
bisa mengaji.
Khususnya
desa dorebara, desa tempat keberadaannya komunitas Kampung Media Sanggicu Dompu sejak tahun 2010 lalu, sangat
sulit didapatkan yang namanya tempat latihan mengaji. Ada hanya beberapa tempat
yang yang masih aktif untuk masyarakat belajar mengaji itupun muridnya sangat
sedikit dan mampu dihitung jari.
Seperti
rumahnya Kuflin Supriadin, S.Pd, Kuflin yang kerap dipanggil Jhon oleh sahabat
dan istrinya ini masih meluangkan waktu untuk membuka rumahnya sebagai tempat
belajar mengaji, Jhon yang kesehariannya mengajar disalah satu pondok pesantren
dikabupaten Dompu yaitu Ponpes Yasmin mata pelajatran Pendidikan Agama islam
mengaku ingin sekali menjadikan Dorebara sebagai desa berpendidikan Islam dan
lancer mengaji.
Lebih
dari sepuluh ,urid ia ajarkan tiap malamnya bersama sang istri tercinta, banyak
masyarakat yang ia ajak anaknya untuk diajarkan mengaji, namun entah mengapa
anak-anaknyajustru malas untuk belajar mengaji, tidak ada tariff yang dipasang,
melainkan gratis yang sebenarnya, namun mereka masih juga malas dan tidak mau.
“dirumah saya dan istri yang mengajarkan mereka mengaji, murid sampai sekarang
lebih dari sepuluh dari tingkat SD dan SMP, Al-Qur’an dan Iqro maupun Juz’ama
disediakan, tetapi masih saja banyak yang tidak ingin belajar mengaji” Ujarn
pria supel tersebut
Keluhan
kecewa dahulu terlontar masyarakat yang ingin sekali anaknya pintar mengaji,
namun sekarang berbalik drastic, karena keluhan terlontar dari sang guru
seperti keluhat Jhon Kemarin saat ditemui dirumahnya Rt 09/ Rw 05 “saya tidak
pernah membebani mereka yang mengaji dengan membantu pekerjaan rumah dan
lainnya, banyak murid-murid ditempat saya mengajar saya uajak untuk belajar
mengaji usai sholat Maghrib dirumah saya sekalian belajar tambahan, sebenarnya
untuk menambah pengetahuan mereka, namun entah kenapa murid-murid saya masih
belum mau, dan orang tua juga saya
kabarkan untuk mau membantu” keluh jhon dengan penuh penyesalan
Namun
tidak sampai disitu perjuangan sang guru ngaji muda yang ingin sekli paradigma
desa Dorebara, karena impiannya ingin menjadikan desa berlantunkan Ayat suci
Al-Qur’an, yang harapannya ada bantuan dari pemerintah daerah maupun yang
bersangkutan dengan Agama sedikit memberikan support masyarakat agar mau
mengajak anaknya untuk sama-sama belajar mengaji. Azis red
Tidak ada komentar :
Posting Komentar